Akad-akad Dalam Perbankan Syariah
………LanjutanAkad-akad Tijarah
Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial, yaitu akad yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan.
Berdasarkan pada tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah secara umum dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu natural uncertainty contracts dan natural certainty contracts.
I. Natural Uncertainty Contracts (NUC)
Akad tijarah yang masuk dalam kategori NUC ini umumnya terbagi lagi menjadi 5 (lima) jenis, yaitu musyarakah, mudharabah, muzara’ah, musaqah, dan mukharabah.
1. Musyarakah atau syirkah
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak sebesar partisipasi modal yang disertakan dalam usaha.
Landasan syar’i Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk akad musyarakah ini antara lain: “………dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh……..” (QS. Shad: 24).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati temannya. Apabila salah satu telah berkhianat terhadap temannya, maka Aku keluar dari persyarikatan tersebut” (HR. Abu Daud dan Hakim)
Secara umum, musyarakah terbagi menjadi 5 (lima) jenis, yaitu:
a. Syirkah Mufawadhah, yaitu kerjasama atau percampuran dana antara dua pihak atau lebih dengan porsi dana yang sama.
b. Syirkah al-‘Inan, yaitu kerjasama atau percampuran dana antara dua pihak atau lebih dengan porsi dana yang tidak harus sama.
c. Syirkah Wujuh, yaitu kerjasama atau percampuran antara pihak pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki reputasi atau nama baik (kepercayaan).
d. Syirkah Abdan, yaitu kerjasama atau percampuran tenaga atau profesionalisme antara dua pihak atau lebih, dengan kata lain terjadi kerjasama profesi.
e. Syirkah Mudharabah, yaitu kerjasama atau percampuran dana antara pihak pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki profesionalisme atau tenaga.
2. Mudharabah
Menurut fiqh, mudharabah atau disebut juga muqaradhah berarti bepergian untuk urusan dagang. Secara muamalah berarti pemilik modal (shahibul maal) menyerahkan modalnya kepada pekerja/pedagang (mudharib) untuk diperdagangkan/diusahakan, sedangkan keuntungan dagang itu dibagi menurut kesepakatan bersama.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana salah satu pihak yaitu pemilik modal (shahibul maal) memiliki kontribusi dana sebesar 100% dari kebutuhan, sedangkan pihak lain yaitu pengelola usaha (mudharib) berkontribusi dalam hal keahlian mengelola dana dari pemodal.
Landasan syar’i Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk akad mudharabah ini antara lain: “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…” (QS. An-Nisa’: 29)
“Nabi bersabda, Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual-beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
3. Muzara’ah
Muzara’ah adalah akad kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan menyerahkan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (nisbah) dari hasil panen yang benihnya berasal dari pemilik lahan; Aplikasi dalam lembaga keuangan syariah, muzara’ah merupakan produk khusus yang dikembangkan di sektor pertanian atau agribisnis.
4. Mukhabarah
Kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lajan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan diperlihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal dari penggarap. Bentuk akad kerjasama antara pemilik sawah/ tanah dan penggarap dengan perjanjan bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama. Sedangkan biaya dan benihnya dari pemilik tanah, Oleh sebagian ulama, akad mukhabarah ini diperbolehkan, berdasarkan hadits Nabi saw, artinya: “Sesungguhnya Nabi telah menyerahkan tanah kepada penduduk Khaibar agar ditanami dan diperlihara, dengan perjanjian bahwa mereka akan diberi sebagian hasilnya.” (HR Muslim dari Ibnu Umar ra.)
5. Musaqah
Musaqah ini merupakan bentuk sederhana dari muzara’ah karena penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan lahan saja. Musaqah adalah akad kerjasama dalam pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil panen yang benihnya berasal dari pemilik lahan; Aplikasi dalam lembaga keuangan syariah, musaqah merupakan produk khusus yang dikembangkan di sektor pertanian atau agribisnis dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.
II. Natural Certainty Contracts (NCC)
Dalam NCC, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, sehingga objek pertukarannya pun (baik barang maupun jasa) jumlahnya, mutunya, harganya, dan waktu penyerahannya harus ditetapkan di awal akad dengan pasti. Return dari kontrak-kontrak ini dapat ditetapkan secara pasti di awal akad. Akad tijarah yang masuk dalam kategori NCC ini umumnya terbagi ke dalam 6 (enam) jenis, yaitu Al-Bai’, Al-Murabahah, As-Salam, Al-Istishna’, Ijarah, dan Ijarah Muntahiya Bit-Tamlik (IMBT).
1. Al-Bai’
Menurut Sunarto Zulkifli (2007), Bai’ adalah transaksi pertukaran antara ‘ayn yang berbentuk barang dengan dayn yang berbentuk uang, lazimnya disebut sebagai transaksi jual-beli. Dalam transaksi ini, keuntungan penjualan sudah dimasukkan dalam harga jual sehingga penjual tidak perlu memberitahukan tingkat keuntungan yang diinginkan.
Landasan syar’i Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk akad al-bai’ ini antara lain: “Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).
“…dan tidak dosa bagimu mencari karunia (dari hasil perniagaan) dari Tuhanmu…” (QS. Al-Baqarah: 198).
Rasulullah SAW pernah ditanya, pekerjaan apakah yang paling baik, beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur, yaitu tidak ada tipuan dan khianat”. Juga “Juga pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama para nabi, orang-orang yang jujur dan para syuhada” (HR. Tarmidzi). Dan “Sebaik-baik nafkah adalah hasil pekerjaan yang halal” (HR. Ahmad).
Pada dasarnya, al-bai’ terbagi menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu:
- Al-Bai’ Naqdan, yaitu akad jual-beli atas suatu barang atau jasa yang pembayaran serta penyerahan barang atau jasanya dilakukan secara tunai atau saat ini juga
- Al-Bai’ Muajjal, yaitu akad jual-beli atas suatu barang atau jasa yang pembayarannya dilakukan tidak secara tunai atau dilakukan dikemudian hari (hutang) tetapi barang atau jasanya diterima saat ini (awal periode).
- Al-Bai’ Taqsith, yaitu akad jual-beli atas suatu barang atau jasa yang pembayarannya dilakukan secara cicilan selama periode hutang sedangkan barang atau jasanya diterima di awal periode.
2. Al-Murabahah
Menurut Drs. Zainul Arifin, MBA (2006), al-murabahah adalah akad jual-beli antara penjual dengan pembeli barang. Dalam transaksi jual-beli tersebut penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan dan tidak termasuk barang haram, demikian juga dengan harga pembelian dan keuntungan yang diambil serta cara pembayarannya.
Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai lebih dulu. Dengan kata lain nasabah telah memperoleh pembiayaan dari bank syariah untuk pengadaan barang tersebut.
Landasan syar’i Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk akad al-bai’ ini antara lain: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka.” (QS. An-Nisaa’: 29)
Dari Shaleh bin Suhaib, dari bapaknya, Rasulullah SAW bersabda, “Tiga perkara yang di dalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradah (nama lain mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).
3. As-Salam
Menurut Drs. Zainul Arifin, MBA (2006), bai’ as salam adalah akad jual-beli suatu barang yang harganya dibayar dengan segera sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang disepakati. Dalam teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank syariah dari nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera. Tentu saja bank syariah tidak bermaksud hanya melakukan salam untuk memperoleh barang. Barang itu harus dijual lagi untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam prakteknya transaksi pembelian salam oleh bank syariah selalu diikuti atau dibarengi dengan transaksi penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan barang itu juga dilakukan dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel salam. Bank syariah dapat juga melakukan penjualan barang itu dengan menggunakan skema murabahah.
Landasan syar’i Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk akad as-salam ini antara lain: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282).
“Ibnu Abbas berkata, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” (HR. Ath-Thabarani). Selain itu Ibnu Abbas juga meriwayatkan, “Rasulullah SAW datang ke Madinah yang penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata,”Barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.” (HR. Ath-Thabarani).
4. Al-Istishna’
Menurut Drs. Zainul Arifin, MBA (2006), bai’ al Istishna adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni’) dengan produsen/penjual (shani’) dimana barang yang dkan diperjualbelikan harus dibuat lebih dulu dengan kriteria yang jelas. Istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, bedanya hanya terletak pada cara pembayarannya, pada salam pembayarannya harus dimuka dan segera, sedangkan pada istishna’ pembayarannya boleh di awal, di tengah, atau di akhir, baik sekaligus ataupun secara bertahap.
Pada dasarnya bai’ al-Istishna’ adalah salah satu pengembangan prinsip bai’ as-salam dimana waktu penyerahan barang dilakukan dikemudian hari sementara pembayaran dapat dilakukan melalui cicilan atau ditangguhkan. Oleh karena al-istishna’ merupakan jenis khusus dari bai’ as-salam, maka ketentuan dan landasan hukum syariah bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan landasan hukum syariah bai’ as-salam.
5. Ijarah
Menurut Drs. Zainul Arifin, MBA (2006), Al-Ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Ijarah merupakan transaksi pertukaran antara ‘ayn berbentuk jasa atau manfaat dengan dayn. Dalam istilah lain, ijarah dapat juga didefinisikan sebagai akad pemindahan hak guna atau manfaat atas barang/jasa melalui upah sewa tanpa diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri.
Jenis ijarah dapat dibagi berdasarkan objeknya, yaitu ijarah yang objek manfaatnya dari barang (misalnya sewa mobil, sewa rumah, dan lain-lain) dan ijarah yang objek manfaatnya dari tenaga seseorang (misalnya jasa taksi, jasa guru, dan lain-lain). Pendapatan yang diterima dari transaksi ijarah disebut ujrah.
Menurut Sunarto Zulkifli (2007), Al-Ujrah adalah imbalan yang diperjanjikan dan dibayar oleh pengguna manfaat sebagai imbalan atas manfaat yang diterimanya.
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat atas apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda, “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Hadits lainnya menyatakan, dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah). Dari Abu Said, Rasulullah SAW bersabda, “Bila kamu menyewa seorang pekerja harus memberi tahu upahnya.” (HR. An-Nasa’i).
6. Ijarah Muntahiya Bit-Tamlik
Selain hanya sebagai kontrak sewa, ijarah juga bisa dikembangkan menjadi kontrak sewa-beli, bentuk kontrak ini disebut Ijarah Muntahiya Bit-Tamlik (IMBT). Kontrak IMBT ini memberikan opsi kepada penyewa untuk memiliki barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai. Akad sewa yang terjadi antara bank syariah (sebagai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dilaksanakan dengan cara pembayaran cicilan atau angsuran sudah termasuk pokok harga barang. Ijarah jenis ini disertai dengan janji (wa’ad) yang mengikat pihak pemberi sewa untuk mengalihkan kepemilikan kepada penyewa pada saat masa sewa telah berakhir.
Proses perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi IMBT dapat dilakukan dengan cara:
- Hibah (pemberian atau gift), yaitu transaksi ijarah yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan barang dengan cara hibah dari pemilik objek sewa kepada penyewa.
- Promis to sell (janji menjual), yaitu transaksi ijarah yang diikuti denga janji menjual barang objek sewa dari pemilik objek sewa kepada penyewa dengan harga tertentu.
7. Sharf
Menurut Sunarto Zulkifli (2007), Sharf adalah transaksi pertukaran antara dua mata uang yang berbeda. Sharf dapat juga didefinisikan sebagai prinsip jual-beli valuta dengan valuta lainnya yang berbeda. Dalam transaksi sharf, penyerahan valuta harus dilakukan secara tunai (naqdan) dan tidak dapat dilakukan secara tangguh.
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 28/DSN-MUI/III/2002 Tentang Jual-beli Mata uang (Al-Sharf) menyatakan bahwa transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
- Tidak ada spekulasi (untung-untungan)
- Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
- Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
- Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Fatwa DSN tersebut juga telah membagi transaksi sharf atau valuta asing menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
- Transkasi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Transaksi ini hukumnya adalah BOLEH, karena dianggap tunai. Sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.
- Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk jangka waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah HARAM, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’dah) dan penyerahannya dilakukan dikemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
- Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya HARAM, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
- Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya HARAM, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
Dari Ubadah bin Shamit Ra, Rasulullah SAW bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenis, kamu boleh menjualnya sekendakmu asalkan tunai.” (HR Muslim, Muttafaqun ‘Alaih).
Dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah SAW bersabda, “Boleh menjual emas dengan emas dengan setimbang, sebanding, dan perak dengan perak setimbang, sebanding.” (HR. Ahmad, Muslim, dan An-Nasa’i).
Dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah SAW bersabda, “Boleh menjual kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, garam dengan garam, sama sebanding, tunai dengan tunai. Barang siapa menambah atau minta tambah, maka telah berbuat riba kecuali yang berlainan warnanya.” (HR. Muslim).
Dari Abi Bakhrah Ra, “Rasulullah SAW melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali sama. Dan beliau menyuruh kami membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami.” (HR. Al-Bukhari-Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar